Oleh Sudaryanto
BANYAK orang mengenal sekaligus mengenang (alm) KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur-tanggal 30 Desember 2011 genap 2 tahun meninggal-sebagai tokoh pluralisme. Namun, hanya sedikit orang yang mengenal sekaligus mengenangnya, sebagai saudagar humor NU (Nahdlatul Ulama). Padahal, bicara tentang humor NU, jelas kita tak bisa melupakan the Godfather-nya, yaitu Gus Dur sendiri. Sejauh mana humor NU ala Gus Dur dikatakan menarik?
Bukanlah sebuah kebetulan jika tradisi humor ada di setiap komunitas manusia. Dari deretan humor Indonesia aseli, kita mengenal guyonan Madura (diangkat oleh D. Zawawi Imron), plesetan Jogja (oleh Cak Nun, Dagadu Djokdja), lelucon antaretnis/suku, parodi daripada Orde Baru (oleh raja monolog Butet Kartaredjasa), dan senda gurau ala NU. Dari beberapa misal itu, tampaknya khazanah humor NU yang paling kurang terkenal atau populer.
Harap maklum, meskipun perbendaharaannya sangat kaya, humor NU sering hanya dipahami oleh mereka (penikmat humor) yang mengerti idiom-idiom pesantren. Hal itu dikarenakan khazanah humor itu muncul di kalangan orang pesantren yang sederhana, polos, dan apa adanya. Maklum, kata Gus Mus, orang NU biasanya orang desa, dan hidupnya santai, sehingga bila ketemu ya sering guyon. Jadi, wajar bila humor NU terlihat begitu lugu. Mau bukti?
Dalam bukunya Tawa Show di Pesantren, Akhmad Fikri menuliskan cerita uniknya. Suatu kali, Gus Dur berkunjung ke sebuah pesantren di Probolinggo, Jawa Timur. Ia datang bersama AS Hikam. Selesai ceramah, Gus Dur pamit kepada kyai tuan rumah untuk meneruskan kunjungan ke pesantren berikutnya. Sambil pamit, Gus Dur bilang, "Aku titip Hikam di sini." Waktu itu AS Hikam belum kondang nian.
Sang kyai menyangka "Hikam" adalah nama sebuah kitab. Ia pun mengiyakan begitu saja pesan Gus Dur. Begitu Gus Dur pergi, sang kyai segera mencari "kitab" itu. Dicari-cari tak juga ketemu, akhirnya ia mengerahkan para santri untuk mencari di mana gerangan "kitab" itu diletakkan. Kekonyolan ini baru berakhir setelah ia diberi tahu oleh seorang santri yang kebetulan telah mengenal nama AS Hikam. "Oh... jadi Hikam itu nama orang to."
Sang kyai menyangka "Hikam" adalah nama sebuah kitab. Ia pun mengiyakan begitu saja pesan Gus Dur. Begitu Gus Dur pergi, sang kyai segera mencari "kitab" itu. Dicari-cari tak juga ketemu, akhirnya ia mengerahkan para santri untuk mencari di mana gerangan "kitab" itu diletakkan. Kekonyolan ini baru berakhir setelah ia diberi tahu oleh seorang santri yang kebetulan telah mengenal nama AS Hikam. "Oh... jadi Hikam itu nama orang to."
Masih tentang keluguan orang NU, kisah ini terjadi di gedung PBNU di Jl. Kramat, Jakarta. Serombongan pengajian ibu-ibu mencoba lift untuk naik ke lantai atas. Saat hendak masuk lift, mereka melepas sandal seperti hendak masuk ke ruang yang berlantai suci (seperti halnya masjid). Ketika lift sampai di atas dan pintu terbuka, mereka panik, "Lho, sandalnya di mana?" Ini baru sebagian kecil contoh humor NU yang kita tahu.
Muncul pertanyaan, mengapa humor NU menarik? Sebab, sebagai seni olah senyum, humor NU punya banyak perspektif. Ia tak melulu sesuatu yang membuat kita tertawa terpingkal-pingkal, seraya memegangi perut. Tapi, ia juga bermakna sebagai kritik terhadap diri sendiri (baca: otokritik). Di samping itu, humor NU umumnya sering timbul dari kejadian-kejadian tak terduga, alami, konyol, dan apa adanya.
Selain tujuan ketawa, dalam tradisi pesantren, guyon juga menjadi alat menyampaikan pesan. Akhmad Fikri menyebutnya tawa-show, yang sekaligus tawashow. Dalam bahasa Arab, tawashow berarti saling menasehati. Di NU, humor menjadi bagian dari kearifan, kritik diri, juga kritik buat orang lain. Kritik dari kyai kepada santrinya, atau kyai kepada keluarganya sendiri. Uniknya, selesai ketawa, masalah pun selesai.
Ya, sebagaimana tradisi joke dalam budaya lain, kadang humor NU, termasuk yang dipopulerkan oleh Gus Dur, berupa cerita rekaan hasil adaptasi dari budaya lain. Mungkin saja, Gus Dur kulak dari tempat lain, lalu dibawa ke sini. Jadi, intinya humor tidak memiliki hak cipta. Kadangkala satu kisah nyata yang kocak muncul dalam banyak versi, misalnya, beda keterangan tempat dan waktu. Namun, inti ceritanya tetap sama.
Terkait itu, mengutip Gus Mus, humor NU dan humor lainnya, pada hakikatnya melihat sesuatu dari sisi yang tidak dilihat kebanyakan orang. Makanya, sense of humor yang tinggi biasanya dimiliki oleh orang-orang yang cerdas. Sayangnya, kadang kejenakan itu disampaikan secara kurang arif. Pernah, pada masa Pemilu 1999, Gus Dur melontarkan joke NU sebagai ayam, PKB sebagai telur, sedangkan partai-partai lain berbasis NU sebagai kotorannya.
Tapi sekali lagi, begitulah ciri khas (alm) Gus Dur dan humor NU. Tampil lugu, apa adanya, dan kadangkala nyeleneh. Di mata Gus Dur dan orang NU, humor tak sekadar bikin ketawa, tetapi juga sebagai sarana menasehati diri sendiri, serta orang lain. Bahkan, Gus Dur sendiri pula yang mengajarkan bahwa humor memberikan kearifan bagi kita. Gus, kami rindu akan guyonan-guyonan Sampeyan!
Selamat jalan saudagar humor!
*) Mahasiswa Linguistik Terapan Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Sumber: http://www.radarjogja.co.id| Friday, 30 December 2011 11:06
0 comments:
Post a Comment